Nama yang sangat indah, sama seperti wajahnya yang cantik
dan senyumnya yang manis. Nama kecilnya adalah
Dhira.
Dhira adalah anak pertama dari dua bersaudara. Sebenarnya
dia anak ketiga dari lima bersaudara, tapi sayang, kakak dan adiknya telah pergi diambil oleh Tuhan.
Aku
mengenal Dhira dari kecil, dia temen sepermainanku. Kami pun masuk taman
kanak-kanak yang sama. Selalu aku ingat saat itu aku dimusuhi teman sekelasku,
bekalku ditumpahkan oleh mereka, lalu Dhira datang memunguti makananku yang sudah
jatuh. Kami sama-sama membuangnya. Dia menepuk pundakku dan mengatakan “Jangan
nangis, Syifa...” Aku tenang bersamanya.
Saat
itu hari Kartini, aku dan Dhira tidak ikut memakai baju adat dan berkeliling,
tapi saat pembagian hadiah, aku dan dia berlari ke sekolah TK kami untuk
mengambil hadiah kami. Itu terakhir kalinya aku berlari bersamanya.
Dhira
jatuh sakit, polio. Kaki dan tangannya mengecil. Tubuhnya juga semakin kurus.
Dia bilang sakit rasanya, tapi saat itu aku tidak mengerti. Aku mengajaknya
bermain sepeda roda tiga, tapi dia bilang dia sudah susah berjalan, aku marah
karna aku pikir dia tidak mau bermain denganku.
Awalnya
memang susah berjalan, lalu kemudian Dhira berjalan merayap dengan memegang
benda-benda apapun di sampingnya untuk menjaga keseimbangannya, lalu Dhira
hanya bisa berjalan mengesot saja, kemudian akhirnya kemanapun ia akan pergi
harus digendong. Aku yang memang tidak mengerti hanya berpikir bahwa Dhira
sakit dan besok pasti sembuh dan akan bermain lagi denganku. Lambat laun aku
mengerti, ia telah lumpuh. Segala macam pengobatan telah ia jalani. Terapi,
pijat, obat-obat herbal, semuanya nihil, dia tetap tidak lagi bisa berjalan.
Aku
selalu datang ke rumahnya setiap hari bila ingin bermain bersamanya atau ia
digendong ke rumahku bila ingin bermain bersamaku. Setiap hari kami habiskan
waktu bersama. Dari masa sekolah dasar hingga masa SMA. Dari perbincangan soal
guru dan teman sekelas hingga cinta. Semua rahasiaku ada padanya, semua
rahasianya ada padaku. Lalu kami sama-sama mengikrarkan bahwa “kami sahabat
selamanya”.
Masih
aku ingat saat bulan puasa dulu, kami membuat sebuah game acak kata yang kami
beri nama “nadsyif” hahaha itu adalah hal terkonyol! Karena kami membuat lembar
teka-teki lalu menjualnya ke anak-anak komplek perumahan kami. Lalu kami
menggabungkan uang kami untuk berjualan es! Dan laku! Hahaha itu lucu banget
karena kami jadi terkenal seantro komplek! Even
though cuma aku yang jual keliling dan dia hanya di rumahnya menunggu, tapi
aku tetap senang melakukannya.
Dhira
pernah sakit parah saat kelas 2 SMP, namun aku selalu berpikir bahwa dia pasti
sembuh. Aku datang ke rumah sakit menceritakan banyak hal untuk menghiburnya.
Aku selalu bilang, “Cepet sembuh, ya biar kita bisa ngegosip lagi.” Terus aku
peluk dia kenceng, “Jangan tinggalin aku, ya…”
Aku
tahu Dhira mau nangis, tapi aku bilang ke dia kalau dia gak boleh nangis dan
dia harus kuat. Dia selalu bilang sama Mamanya kalau dia sudah tidak kuat
menahan sakit. Aku tahu semua itu sangat menyakitkan, tapi dia coba terus
bertahan.
Lulus
SMP, Dhira masuk SMA favorit, tapi dia tidak mengambilnya karena dia lelah untuk duduk berlama-lama. Punggungnya sudah tidak sekuat dulu. Ya, dia berhenti sekolah.
Aku tidak peduli dengan omongan miring mengenai dia yang berhenti sekolah
karena aku tahu otaknya begitu pintar walau tubuhnya tak sehebat otaknya.
Setiap
hari selalu aku datang ke rumahnya, namun saat kelas 2 SMA aku mulai banyak
kegiatan dan sehabis pulang sekolah pasti di rumah karena kelelahan. Dhira mulai
terlupakan.
Dhira
sakit keras. Lagi. Aku pikir sebentar lagi juga dia sehat, tapi salah karena
sakitnya semakin parah. Ia tidak sadarkan diri, ia pun dilarikan ke rumah
sakit.
Dua
minggu di rumah sakit, aku tak kunjung menengok. Aku merasa bersalah, maka dari
itu aku membelikannya boneka Snoopy (tokoh kartun kesukaannya) sebagai
permintaan maaf.
Dua
hari setelah kedatanganku, tepatnya tanggal 30 November 2008, ia pergi untuk selamanya. Aku terpukul.
Sangat terpukul. Saat tubuhnya telah kaku, aku hanya bisa meratap. Aku terdiam
cukup lama melihat sosoknya yang telah dibungkus kain kafan. Sahabatku telah
pergi.
Saat
pemakaman berlangsung, rasanya aku ingin menguburkan diriku bersamanya.
Tangisku tak terisak, tapi dada ini sungguh sesak. Setelah dari pemakaman, aku
pulang. Di dalam kamar aku terdiam. Lalu aku ingat sosoknya. Aku menangis
lantang. Lama dan panjang. Aku teriak menyesali semuanya. Bagaimanapun aku
memohon untuk Dhira kembali pasti tidak bisa karena Dhira telah pergi
selamanya. Di alam yang abadi.
hanya foto ini yang tersisa untuk mengenangmu untuk selalu mengingatmu
Aku
menyesali semuanya. Menyesali kebodohanku karena tak ada untuknya saat
masa-masa kritis. Dan aku tak ada di sampingnya saat napasnya berhembus untuk
terakhir kalinya. Aku merindukanmu, Nadhira Nisa Olivia.
Selamat
ulang tahun yang ke-20. Semoga kini dan sampai kapan pun kamu tetap bahagia… di
surga.