Kamis, 02 Agustus 2012

Nadhira Nisa Olivia


Nama yang sangat indah, sama seperti wajahnya yang cantik dan senyumnya yang manis. Nama kecilnya adalah Dhira.

Dhira adalah anak pertama dari dua bersaudara. Sebenarnya dia anak ketiga dari lima bersaudara, tapi sayang, kakak dan adiknya telah pergi diambil oleh Tuhan.

Aku mengenal Dhira dari kecil, dia temen sepermainanku. Kami pun masuk taman kanak-kanak yang sama. Selalu aku ingat saat itu aku dimusuhi teman sekelasku, bekalku ditumpahkan oleh mereka, lalu Dhira datang memunguti makananku yang sudah jatuh. Kami sama-sama membuangnya. Dia menepuk pundakku dan mengatakan “Jangan nangis, Syifa...” Aku tenang bersamanya.

Saat itu hari Kartini, aku dan Dhira tidak ikut memakai baju adat dan berkeliling, tapi saat pembagian hadiah, aku dan dia berlari ke sekolah TK kami untuk mengambil hadiah kami. Itu terakhir kalinya aku berlari bersamanya.

Dhira jatuh sakit, polio. Kaki dan tangannya mengecil. Tubuhnya juga semakin kurus. Dia bilang sakit rasanya, tapi saat itu aku tidak mengerti. Aku mengajaknya bermain sepeda roda tiga, tapi dia bilang dia sudah susah berjalan, aku marah karna aku pikir dia tidak mau bermain denganku.

Awalnya memang susah berjalan, lalu kemudian Dhira berjalan merayap dengan memegang benda-benda apapun di sampingnya untuk menjaga keseimbangannya, lalu Dhira hanya bisa berjalan mengesot saja, kemudian akhirnya kemanapun ia akan pergi harus digendong. Aku yang memang tidak mengerti hanya berpikir bahwa Dhira sakit dan besok pasti sembuh dan akan bermain lagi denganku. Lambat laun aku mengerti, ia telah lumpuh. Segala macam pengobatan telah ia jalani. Terapi, pijat, obat-obat herbal, semuanya nihil, dia tetap tidak lagi bisa berjalan.

Aku selalu datang ke rumahnya setiap hari bila ingin bermain bersamanya atau ia digendong ke rumahku bila ingin bermain bersamaku. Setiap hari kami habiskan waktu bersama. Dari masa sekolah dasar hingga masa SMA. Dari perbincangan soal guru dan teman sekelas hingga cinta. Semua rahasiaku ada padanya, semua rahasianya ada padaku. Lalu kami sama-sama mengikrarkan bahwa “kami sahabat selamanya”.

Masih aku ingat saat bulan puasa dulu, kami membuat sebuah game acak kata yang kami beri nama “nadsyif” hahaha itu adalah hal terkonyol! Karena kami membuat lembar teka-teki lalu menjualnya ke anak-anak komplek perumahan kami. Lalu kami menggabungkan uang kami untuk berjualan es! Dan laku! Hahaha itu lucu banget karena kami jadi terkenal seantro komplek! Even though cuma aku yang jual keliling dan dia hanya di rumahnya menunggu, tapi aku tetap senang melakukannya.

Dhira pernah sakit parah saat kelas 2 SMP, namun aku selalu berpikir bahwa dia pasti sembuh. Aku datang ke rumah sakit menceritakan banyak hal untuk menghiburnya. Aku selalu bilang, “Cepet sembuh, ya biar kita bisa ngegosip lagi.” Terus aku peluk dia kenceng, “Jangan tinggalin aku, ya…”

Aku tahu Dhira mau nangis, tapi aku bilang ke dia kalau dia gak boleh nangis dan dia harus kuat. Dia selalu bilang sama Mamanya kalau dia sudah tidak kuat menahan sakit. Aku tahu semua itu sangat menyakitkan, tapi dia coba terus bertahan.

Lulus SMP, Dhira masuk SMA favorit, tapi dia tidak mengambilnya karena dia lelah untuk duduk berlama-lama. Punggungnya sudah tidak sekuat dulu. Ya, dia berhenti sekolah. Aku tidak peduli dengan omongan miring mengenai dia yang berhenti sekolah karena aku tahu otaknya begitu pintar walau tubuhnya tak sehebat otaknya.

Setiap hari selalu aku datang ke rumahnya, namun saat kelas 2 SMA aku mulai banyak kegiatan dan sehabis pulang sekolah pasti di rumah karena kelelahan. Dhira mulai terlupakan.

Dhira sakit keras. Lagi. Aku pikir sebentar lagi juga dia sehat, tapi salah karena sakitnya semakin parah. Ia tidak sadarkan diri, ia pun dilarikan ke rumah sakit.

Dua minggu di rumah sakit, aku tak kunjung menengok. Aku merasa bersalah, maka dari itu aku membelikannya boneka Snoopy (tokoh kartun kesukaannya) sebagai permintaan maaf.

Dua hari setelah kedatanganku, tepatnya tanggal 30 November 2008,  ia pergi untuk selamanya. Aku terpukul. Sangat terpukul. Saat tubuhnya telah kaku, aku hanya bisa meratap. Aku terdiam cukup lama melihat sosoknya yang telah dibungkus kain kafan. Sahabatku telah pergi.

Saat pemakaman berlangsung, rasanya aku ingin menguburkan diriku bersamanya. Tangisku tak terisak, tapi dada ini sungguh sesak. Setelah dari pemakaman, aku pulang. Di dalam kamar aku terdiam. Lalu aku ingat sosoknya. Aku menangis lantang. Lama dan panjang. Aku teriak menyesali semuanya. Bagaimanapun aku memohon untuk Dhira kembali pasti tidak bisa karena Dhira telah pergi selamanya. Di alam yang abadi.



hanya foto ini yang tersisa untuk mengenangmu untuk selalu mengingatmu

Aku menyesali semuanya. Menyesali kebodohanku karena tak ada untuknya saat masa-masa kritis. Dan aku tak ada di sampingnya saat napasnya berhembus untuk terakhir kalinya. Aku merindukanmu, Nadhira Nisa Olivia.

Selamat ulang tahun yang ke-20. Semoga kini dan sampai kapan pun kamu tetap bahagia… di surga.